Kesan pertama usai nonton film ini, In the Heart of the Sea adalah semacam pikiran begini: Hm, kalau di abad ke-19 sudah ada saluran TV macam National Geographic atau Discovery Channel, petualangan berburu ikan paus di film ini bisa jadi serial memancing di lautan lepas yang banyak muncul di dua saluran TV itu saat ini.
Namun, setelah diresapi lebih dalam lagi In the Heart of the Sea bukan semata tentang kisah perburuan ikan paus. Lebih dari itu, kisah ini semakin menegaskan hakikat kita sebagai manusia yang punya sifat penjelajalah, serta hakikat bertahan hidup.
Dua hal itu menjadi intisari film garapan Ron Howard ini. Baiklah kita bicarakan satu-satu.
Bagi yang mengikuti sains tentang evolusi manusia tentu pernah mendengar istilah “out of Africa—keluar dari Afrika.” Istilah itu merupakan teori bahwa asal-muasal manusia berawal dari Afrika, kemudian keluar dari benua itu dan menyebar ke berbagai belahan Bumi. Homo sapiens, atau kita, manusia modern, dikatakan muncul pertama kali antara 200-250 ribu tahun lalu sebagai akibat dari evolusi jutaan tahun. Sekitar 150 ribu tahun lalu, kita keluar dari Afrika dan memulai penjelajahan mengarungi Bumi.
Apa alasan manusia menjelajah Bumi? Tak lain dan tak bukan demi bertahan hidup.
Saat manusia mendapati tempatnya tinggal tak lagi mampu menyokong kehidupannya, insting manusia bekerja. Mereka pergi mencari tempat yang lebih layak. Insting itu masih tertanam hingga kini. Itu sebabnya, saat sebuah negeri dikecamuk bencana alam, kemiskinan, kelaparan atau perang, penduduknya memilih mengungsi, mencari tempat hidup lebih baik.
Kita tentu juga tahu, selepas masa Renaisans, pada pertengahan alaf kedua, negeri-negeri Barat di Eropa ramai mengarungi Bumi. Masa itu disebut abad penjelajahan. Kita pun mengenal nama-nam seperti Vasco Da Gama, Christopher Columbus hingga James Cook atau wilayah yang dijuluki Dunia Baru yang lalu disebut benua Amerika.
In the Heart of the Sea bersetting saat abad penjelajahan usai. Di abad ke-19 hampir seluruh isi Bumi telah dikotak-kotakkan peruntukannya oleh negeri-negeri Eropa. Kolonialisme telah ajeg. Di Amerika Serikat, di mana kisah film ini berumah, modernisme dan kapitalisme baru saja menemukan bentuknya.
Modernisme dan kapitalisme awal itu mewujud di sebuah kota pinggir laut Nantucket, sebuah kota nelayan di negara bagian Massachusett. Sebagai kota nelayan denyut nadi kehidupan kota diprakarsai oleh pelaut dan pemilik kapal. Kala itu, listrik serta lampu pijar Edison belum ditemukan. Untuk menerangi kota di kala malam, diperlukan minyak. Sumber minyak yang umum digunakan adalah gemuk atau lemak ikan paus. Maka, tugas para nelayan melaut berburu ikan paus demi diambil lemaknya. Pemilik kapal, yang biasanya terdiri dari para pengusaha kaya, merekrut pelaut-pelaut terbaik dan melayarkan perahu-perahu mereka ke lautan lepas berbu ikan paus.
No comments:
Post a Comment